Kamis, 23 Desember 2010

POLIGAMI NABI MUHAMMAD SAW


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring perjalanan waktu, banyak kalangan yang semakin melototi sejarah tentang kenabian terutama seputar Poligami nabi terhadap para Ummahatu Mukminin. Baik sorotan itu datng dari orang-orang diluar Islam maupun yang datang dari dalam tatanan umat Islam.
Dari luar islam banyak sorotan yang menyatakan bahwa nbi adalah seorang Hiperseks yang dapat menikahi wanita mana saja yang Beliau kehendaki.  Hal ini merupakan persangkaan belaka karena kedengkian mereka terhadap Islam tanpa mereka ingin tahu sebab musabab Nabi mempunyai banyak Istri. Yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana caranya menjatuhkan Islam dengan apapun caranya termasuk mendiskreditkan Nabi Muhammad saw.
Sedangkan dari kalangan intern umat islam sendiri, terdapat golongan yang menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk memuaskan nafsu birahi belaka. Dalam syariat islam memang diperbolehkan untuk menikah dengan istri lebih dari satu sampai dengan empat. Namun hal syariat tersebut bukan untuk dipermainkan untuk kepentingan perorangan, akan tepati harus melalui koridor yang telah ditentukan dalam islam.
Sebab itulah, mendorong saya untuk menyusun makalah ini sebatas kemampuan saya untuk sedikit menyangkal tuduhan orang-orang di luar islam serta berbagi pengetahuan dengan saudara sesama musli bahwa Poligami Nabi Muhammad bukan di dasarkan oleh hawa nafsu dan Nabi bukan seorang Hiperseks seperti yan mereka tuduhkan. Namun semua hal yang dilakukan oleh Nabi adalah berdasarkan wahyau dari Ilahi dan bukan kehendak hawa nafsunya.
B.     Masalah
Mereka (orang-orang di luar Islam) mengatakan bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW :
1)      Menikahi istri anak angkatnya ( Zaid Bin Haritsah )
2)      Memperbolehkan bagi dirinya menikahi perempuan mana saja yang menghibahkan dirinya untuknya. Intinya beliau adalah manusia Hiperseks !!
3)      Dan anggapan segelintir umat islam yang menyatakan bahwa Berpoligami adalah keistimewaan tersendiri bagi kaum adam.
C.     Tujuan
1)      Agar kita dapat mengetahui sejarah seputar pernikahan Nbi Muhammad saw..
2)      Agar kita dapat mengerti dengan sepenuhnya sebab musabab Nabi mempunyai banyak istri
3)      Agar kita tidak ada lagi tuduhan-tuduhan yang mendiskreditkan Junjungan alam.
4)      Sebagai tambahan ilmu bagi pemakalah pribadi dan pembaca sekalian.

D.    Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini ialah dengan menggunakan studi Pustaka yaitu mengutip, menyalin dan penalaran dengan didukung sekelumit pengetahuan yang saya dapatkan melalui proses
pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN
POLIGAMI NABI MUHAMMAD SAW

Yang tetap masyhur dari sejarahnya adalah beliau tidak menikah kecuali setelah umurnya mencapai 25 tahun. Begitu juga pernikahan dini adalah bagian dari kebiasaan atau adat masyarakat jahiliyah karena keinginan memperbanyak anak agar menambah kekuatan kabilah.
Telah ditetapkan pula bahwa dalam sejarahnya beliau masyhur dengan prilaku yang lurus dan menjaga diri dari perbuatan keji dan prilaku memuaskan syahwat yang haram, meskipun penuhnya masyarakat jahiliyah dengan kelompok pelacur yang mempunyai rumah yang mereka gunakan untuk menerima para pezina. Mereka memasang bendera agar diketahui oleh para pencari kesenangan dan kenikmatan.
Meskipun beliau dilputi factor-faktor penyimpangan dan terjatuhnya diri dalam kekekjian dimasyarakat Mekkah, namun tidak dikenal dari beliau kecuali menjaga diri dan kesucian diantara teman-temannya. Demikian ini karena mata langit menjaganya dan menyingkirkan dari tipu daya setan.
Dalam kaitannya dengan ini diriwayatkan bahwa sebagian teman-temannya yang muda pada suatu hari membawanya pada salah satu tempat musik dan hiburan. Namun Allah membuatnya tidur dan tidak bangun kecuali dibangunkan oleh teman-temannya saat akan kembali ke rumah.

Ini adalah yang pertama,

Adapun yang kedua, ketika Rasulullah SAW mencapai umur 25 tahun dan ingin menikah, beliau tidak mencari perawan yang lebih berhak diterima dan lebih pantas bagi orang-orang yang hanya mencari kesenangan. Akan tetapi, beliau menikah dengan perempuan yang umurnya lebih tua darinya sekitar lima belas tahun.

Di samping itu, perempuan ini bukan perawan melainkan janda. Dia mempunyai beberapa anak yang umur salah satunya mendekati dua puluh tahun. Perempuan ini adalah Khadijah. Lebih dari itu semua, sudah masyhur bahwa dialah yang memilih Nabi SAW setelah mengetahui melalui perdagangan yang dilakukan beliau karena sifat amanat, menjaga diri, dan perangai yang baik.
Ketiga, setelah menikah dengannya beliau masih tetap bersamanya sepanjang hidupnya dan tidak menikah dengan yang lain hingga dia telah meninggal dunia. Bersamanya beliau menghabiskan keindahan masa mudanya. Bersamanya terlahir anak-anaknya kecuali Ibrahim yang dilahirkan oleh Mariyah Al-Qibthiyyah.
Keempat, setelah Khadijah meninggal dunia, beliau masih tetap mencintainya, mengingat memori-memori terindah, dan menyebutkan keutamaan-keutamaannya yang mempunyai nilai khusus dalam kehidupan dan kesuksesan dakwahnya. Diantaranya beliau mengatakan, “ Dia membenarkan ketika manusia mendustakanku dan menolongku dengan hartanya.” Bahkan beliau tidak berhenti memujinya, setia mengingatnya, dan menyambut dengan hangat teman-temannnya hingga hal ini menimbulkan kecemburuan pada ‘Aisyah.
Adapun poligaminya sebagaimana poligami yang dilakukan para nabi mempunyai faktor-faktor yang diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, umur Muhammad SAW pada pernikahan awalnya sepeninggal Khadijah lebih dari 25 tahun, umur yang didalamnya bara syahwat sudah padam, nafsu terhadap dunia tidak menggebu-gebu, kebutuhan seks terhadap perempuan sedikit, namun butuh pada pendamping yang menentramkan hati, mengusir kesepian, dan mengurus putra dan putri yang ditinggalkan Khadijah.

Berikut ini adalah penjelasan pernikahannya dan kondisi-kondisinya :

  1. Istri Pertama : Saudah Binti Zam’ah
Kepergian Khadijah menimbulkan kesedihan besar dalam rumah Nabi SAW. Para sahabat yang meliputinya merasa kasihan terhadapnya atas kesepian dan kehilangan orang yang menjaga dan mengurus anak-anaknya. Kehilangan atas Khadijah ini diikuti kehilangan atas Abi Thalib yang selama ini menjadi penolong dan penjaganya. Tahun kehilangan atas dua penolongnya ini disebut Tahun Kesedihan.
Dalam situasi seperti ini ; sedih, sepi, kehilangan orang yang menjaganya dan anak-anaknya, salah seorang wanita muslim datang kerumah Beliau. Wanita ini bernama Khaulah Binti Hakim As-Silmiyyah. Dia berkata kepadanya, “ Wahai Rosulullah, sepertinya aku melihatmu merasa kesepian atas kepergian Khadijah.” Beliau menjawab, “ Benar, dia adalah ibu keluarga dan tuan rumah.” Khaulah berkata, “ Wahai Rasulullah maukah aku mengkhitbahkan untukmu?”
Rosulullah SAW berkata, “ Akan tetapi, siapakah setelah Khadijah?” Khaulah menyebutkan untuknya ‘Aisyah binti Abu Bakar. Rasulullah SAW berkata, “Akan tetapi, dia masih kecil.” Khaulah berkata, “Engkau mengkhitbahnya sekarang kemudian menunggunya sampai matang.”
Rasulullah SAW bersabda, “ Akan tetapi, siapakah yang mengurus rumah dan siapakah yang mengurus putra-putri Rosul?” Khaulah berkata, “Sesungguhnya dia adalah Saudah binti Zam’ah”.  Perkara ini disampaikan kepada Saudah dan orang tuanya. Maka berlangsunglah pernikahannya dan Beliau mempergaulinya sejak di Mekkah.
Disini patut disebutkan bahwa Saudah sebelumnya adalah istri Sakran bin Amr yang meninggal dunia di Mekkah. Sesudah Saudah halal dinikahi, Rosulullah SAW menikahinya. Dia adalah perempuan pertama kali yang dinikahinya setelah Khadijah. Pernikahan ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh dari kenabian.
Masyarakat Mekkah merasa heran dengan pernikahan ini karena Saudah bukanlah wanita yang cantik, bukan dari kalangan terpandang, dan juga tidak pantas menjadi pengganti Ummul Mukminin Khadijah pada saat menikah dengan Rosulullah SAW cantik dan mempunyai strata sosial yang tinggi sehingga diminati banyak lelaki.
Disini saya ingin mengatakan kepada para penyebar kebohongan yang iri dan dengki bahwa inilah istri Rosulullah SAW yang pertama setelah Khadijah. Dia adalah wanita beriman yang melakukan hijrah pertama kali bersama dengan orang-orang yang agamanya kuat menuju Habsyah. Rosul mau menikahinya demi menjaganya dan mengobati luka hatinya setelah suaminya meninggal sekembali dari Habsyah.
Pernikahan dengannya bukanlah karena syahwat, akan tetapi karena mengobati luka hati perempuan yang beriman yang keluar bersama suaminya menuju Habsyah. Setelah kembali dari Habsyah suaminya meninggal. Dia juga ditinggal oleh seorang perempuan yang anak-anaknya membutuhkan orang yang mengurusnya.

  1. Istri Yang Kedua : ‘Aisyah Binti Abu Bakar
Istri yang kedua Nabi setelah Khadijah adalah Aisyah binti Abi Bakar yang mana Rosulullah SAW bersabda mengenainya,
Sesungguhnya orang yang paling terpercaya bagiku dalam harta dan persahabatannya, jikalau aku mengambil Khalil ( teman yang amat dekat ), maka aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai Khalil, akan tetapi persaudaraan Islam.
Sudah dikenal siapakah Abu Bakar. Mengenai sumbangannya terhadap dakwah, Rosul SAW bersabda, tiada harta yang memberikan manfaat kepadaku sebagaimana harta Abu Bakar memberikan manfaat kepadaku.
Ibu Aisyah adalah Ummu Ruman binti Amir Al-Kannani salah satu sahabat besar. Ketika dia meninggal dunia, Rosulullah SAW turun di kuburnya dan memintakan ampunan kepadanya. Beliau berdo’a, Ya Allah, tidak samar bagi Mu apa yang aku temukan dari Ummu Ruman dalam ( membela ) Mu dan rosul Mu. Pada hari meninggalnya, Rosulullah SAW bersabda, siapa yang senang melihat bidadari, maka lihatlah Ummu Ruman.
Penduduk Mekkah tidak kaget dengan berita Mushharah ( hubungan kekeluargaan melalui pernikahan ) diantara dua teman yang mulia ini. Bahkan mereka menyambutnya seperti menyambut sesuatu yang sudah diperkirakan terjadi. Oleh karena itu tidak seorang pun dari kaum musyrik yang mencela pernikahan ini. Padahal mereka tidak meninggalkan suatu bidang celaan kecuali melakukannya sendiri walaupun dengan pemalsuan dan kebohongan.
Patut disebutkan di sini bahwa pernikahan Rosulullah SAW dengan pemudi yang jarak umurnya dengan beliau sekitar lima puluh tahun bukanlah hal yang baru ataupun aneh karena sudah biasa berlaku dalam masyarakat tersebut. Akan tetapi, kaum Orientalis dan orang yang hatinya membawa kedengkian terhadap Muhammad SAW dan sebagian ahli kitab menjadikan pernikahan ini sebagai ajang tuduhan terhadap beliau dan penyiaran bahwa beliau adalah manusia Hiperseks. Mereka lalai atau sengaja tidak mengetahui apa yang terjadi pada masyarakat tersebut mengenai pernikahan orang tua dengan anak-anak seperti yang terlihat dibawah ini :
·         Abdul Muthalib kakek Rosulullah SAW menikahi Halah binti Paman Aminah yang mana Aminah ini dinikahkan oleh anak Abdul Muthalib yang paling kecil yaitu Abdullah, ayah Rosulullah SAW.
·         Umar bin Khattab menikahi putri Ali bin Abi Thalib padahal umur Umar lebih tua daripada Ali.
·         Umar menawarkan kepada Abu Bakar untuk menikahi putrinya yang masih muda ( Hafshah ), sementara perbedaan umur antara Abu Bakar dan Hafshah seperti perbedaan umur antara Rosululah SAW dan Aisyah.

  1. Istri Ketiga : Hafshah Binti Umar Seorang Janda Muda
Hafshah ditinggal suaminya Khunais bin Hudzafah As-Sahmi seorang sahabat agung diantara para sahabat yang melakukan dua hijrah ; hijrah ke Habsyah dan ke Madinah. Hal itu terjadi setelah luka yang mengenainya dalam perang Uhud yang membuatnya meninggal dunia. Sehingga Hafshah binti Umar bin Al-Khattab menjadi janda saat masih muda belia.
Kejandaannya menimbulkan kesedihan ayahnya terus menerus. Dia merasa sedih karena melihat kecantikan dan keelokan putrinya dari hari kehari surut. Karena perasaan kasih sayang seorang ayah dan tabiat masyarakat yang tidak ragu-ragu mengkhitbahkan putrinya kepada orang yang pantas baginya. Karena perasaan ini Umar menawarkan kepada Abu Bakar, akan tetapi Abu Bakar diam tak memberikan jawaban ya atau tidak. Umar pun meninggalkannya. Lalu menawarkan kepada Utsman mengejutkan dengan penolakan.
Dunia terasa sempit bagi Umar. Dia melanjutkan perjalanan kepada Rosul dan menceritakan apa yang telah terjadi. Balasan Rosul terhadapnya adalah, Hafshah dinikahi oleh laki-laki yang lebih baik dari Utsman dan Utsman menikah perempuan yang lebih baik dari Hafshah.
Dengan fitrahnya Umar mengetahui maksud perkataan Rosulullah tersebut. Umar merasa bahwa yang akan menikahi putrinya adalah Rosul sendiri sementara Utsman akan menikahi salah satu putri Rosul.

  1. Istri Keempat : Ummu Salamah Binti Zad Ar-Rakib
Istri yang satu ini termasuk orang yang pertama kali hijrah ke Habsyah. Suaminya ( Abu Salamah ) Abdullah bin Abdul Asad Al-Makhzumi termasuk orang yang pertama kali hijrah ke Yatsrib ( Madinah ). Dia datang ke rumah Nabi SAW sebagai istri setelah meninggalnya Ummul Masakin Zainab binti Khuzaimah Al-Hilaliyyah dalam waktu yang singkat.
Ummu Salamah berasal dari keturunan keluarga dermawan. Ayahnya adalah salah satu dermawan Quraisy. Dia dikenal dengan julukan Zad Ar-Rakib (Bekal Pengendara). Karena tidak seorang pun yang menemaninya dalam berpergian kecuali bekal mencukupinya.
Suaminya yang telah meninggal adalah salah seorang sahabat dari bani Makhzum putra bibi Nabi SAW dan saudara sesusuan, orang yang hijrah dua kali yaitu ke Habsyah kemudian ke Madinah. Dia dan suaminya termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam. Keduanya hijrah ke Madinah secara bersamaan. Dia dan anak kecilnya mengalami peristiwa-peristiwa yang sangat menyedihkan dan menyakitkan. Kisahnya banyak disebutkan oleh kitab-kitab sejarah. Semoga Allah meridhoi Ummu Salamah walaupun mata para penyebar kebohongan tidak pernah terpejam.

  1. Istri Kelima : Zainab Binti Jahsy
Aku tidak melihat wanita ynag lebih baik dalam agama selain Zainab, lebih bertaqwa kepada Allah, lebih jujur perkataannya, lebih menyambung tali persaudaraan, lebih besar sedekahnya, dan lebih berupaya keras dalam pekerjaan yang dengannya dia bersedekah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. ( HR. Muslim ).
Demikianlah Ummul Mukminin Aisyah memberikan kesaksian kepada saudarinya Zainab binti Jahsy. Adapun ahli batil dan dengki dari sebagian ahli kitab mengatakan, “ Muhammad kagum dengan istri anak angkatnya Zaid bin Haritsah, lalu Zaid mencerainya dan Muhammad menikahinya.”
Dr. Haikal dalam bukunya Hayatu Muhammad telah membantah tuduhan ini. Dia mengatakan, “ ini adalah misi misionaris yang tersingkap pada satu saat dan misionaris berkedok ilmu pada saat yang lain. Permusuhan lama terhadap Islam telah berakar dalam jiwa mereka sejak perang salib. Inilah yang mendikte mereka dalam tulisan-tulisan mereka.
Kebenaran yang kami ingin agar ahli batil dan dengki terhadap Islam dan Rosul SAW meniliknya adalah pernikahan Muhammad dengan istri anak angkatnya Zaid bin Haritsah adalah karena suatu hikmah syariat yang diinginkan Islam untuk membatalkan adat ini –adat adopsi- yang pada hakikatnya memalsukan hakikat yang dalam realita kehidupan manusia mempunyai pengaruh-pengaruh yang tidak terpuji.
Di sini perlu disebutkan beberapa ayat Al-Qur’an yang menyatakan hukum yang bertentangan dengan adat jahiliyah yang menafsirkan syariat baru dalam masalah ini dan dalam masalah pernikahan Nabi dengan Zainab. Ayat ini menyebutkan:

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rosulullah dan penutup para Nabi”. ( Al-Ahzab : 40 )


“Panggillah mereka ( anak-anak angkat itu ) dengan ( memakai ) nama bapak-bapak mereka ; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengethui bapak-=bapak mereka, maka ( panggillah mereka sebagai ) saudar-saudaramu seagama dan maula-maulamu”. ( Al-Ahzab : 5 )

 “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya. “ tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah.” Sedang kamu menyembunyikan didalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia,sedang Allah-Lah yag lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengaakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tida ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawin) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluan daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi”. ( Al-Ahzab : 37 )

Sekali lagi kami sebutkan bahwa pernikahan Rosulullah SAW dengan Zainab sama sekali tidak terdorong oleh syahwat atau keinginan seks. Akan tetapi, karena suatu perkara yang telah ditetapkan Allah dan keinginan-Nya untuk membatalkan adat adopsi yang telah berurat dan berakar di dalam masyarakat jahiliyah. Maka jalan untuk membatalkannya adalah dimulai dari rumah Nabi dan oleh Nabi sendiri.
Zainab telah memahami hal ini dan dia bangga atas yang lain. Dia berkata kepada istri-istri Nabi yang lain, “ Kalian dinikahkan oleh keluarga-keluarga kalian dan aku dinikahkan oleh tuhanku adari atas tujuh langit.”
Adapun kenapa Zaid bin Haritsah mondar-mandir pada Rosul untuk menyatakan keinginannya menceraikan Zainab bukanlah seperti yang dituduhkan para penyiar kebohongan bahwa dia merasa bahwasannya Rosulullah SAW menginginkan Zainab, maka dia rela melepaskannya.
Perceraian terjadi karena pernikahan antara keduanya tidak berdasarkan kecocokan atau kasih sayang yang didambakan. Demikian ini karena Zainab binti Jahsy selamanya tidak pernah lupa bahwa dirinya adalah bangsawan yang terhormat lagi cantik sedangkan suaminya adalah budak sebagian keluarganya. Juga ketika menikah dengannya, dia adalah budak Rosul yang dimerdekakannya setelah dibeli dari kaum Quraisy yang menawannya dan menjualnya di Mekkah.
Dia meskipun dijadikan anak angkat oleh Muhammad SAW dan dipanggil dengan Zaid bin Muhammad dalam kebiasaan semua masyarakat Mekkah, namun dimata Zainab yang bangsawan dan cantik tersebut masih tetap seperti sebelumnya yaitu tawanan dan budak yang bukan dambaan perempuansepertinya. Hal ini tidaklah aneh bahkan ini sudah menjadi kebiasaan.
Dari sini kebahagiaannya dengan pernikahan ini tidak tercapai. Hal ini berbalik pada Zaid bin Haritsah. Maka rasa kebahagiaan dalam hatinya menjadi padam. Dia sudah siap untuk berpisah dengannya. Bahkan dia menghadap Rosul SAW dan mengadukan perihal Zainab kepadanya seperti tersebut riwayat Bukhori dari Hadits Anas.

Ia berkata, “ Zaid datang mengadu kepada Rosul SAW. Maka beliau bersabda kepadanya, tahanlah istrimu dan bertaqwalah kepada Allah. (HR. Bukhari) Anas berkata, “ jika Nabi menyimpan sesuatu, maka dia akan menyimpan hadits ini.” Akan tetapi, Rosul sebagaimana yang diceritakan ayat mengatakan, tahanlah istrimu dan jangan tergesa-gesamenceraikannya.
Zainab binti Jahsy adalah putrid bibi Rosul seperti telah dijelaskan didepan. Beliau adalah yang telah menikahkannya dengan Zaid bin Haritsah. Jika beliau berkeinginan dengannya, maka dia akan memilihnya untuk dirinya sendiri, terlebih dia sering melihatnya sebelum hijab diwajibkan. Perempuan dalam masyarakat jahiliyah tidak berhijab. maka apakah yang mencegahnya untuk menikahinya dari semula? namun beliau tidak melakukannya.
Jadi perkara ini bukan atas keinginan semua manusia, bukan dari Zainab, Zaid, atau Muhammad SAW. Akan tetapi, ini adalah takdir yang sudah dikehendaki Allah untuk menyatakan hukum dan syariat baru dalam kasus pembatalan adopsi yang berlaku pada masyarakat saat itu. Hal ini dikukuhkan dan ditunjukan oleh sekumpulan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah ini dalam surah Al-Ahzab
Adapun firman Allah SWT :

 “Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan mengatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-Lah yang lebih berhak untuk kamu takuti”. ( Al-Ahzab : 37 )
Maka sesuatu yang disembunyikan Nabi SAW adalah menyimpan pemberitahuan Allah bahwa Zainab pada suatu saat akan menjadi istrinya. Akan tetapi, beliau tidak terus terang orang-orang mengatakan, “ Muhammad menikahi istri anak angkatnya.”


  1. Istri Keenam : Juwairiyyah Binti Al- Harits Al-Khuza’iyyah
Dia adalah ratu yang cantik yang tidak ada perempuan lebih berkah bagi kaumnya selain dia. Karena setelah Rosul menikah dengannya beliau memerdekakan seratus keluarga dari bani Al-Mushthaliq dimana dia berasal dari mereka.
Ketika itu Juwairiyah menjadi tawanan setelah kekalahan Yahudi bani Al-                                        Mushthaliq dalam perang yang dinamakan dengan nama mereka ini. Orang yang menawannya berjanji memerdekakannya dengan syarat sejumlah uang. Maka dia pergi kepada Rosul SAW untuk meminta bantuan kepadanya. Beliau berkata kepadanya, “ Apakah mau yang lebih baik dari itu?” Juwairiyyah menjawab, “Apakah itu?” beliau berkata, “Aku akan membayarnya dan menikahimu?” Juwairiyyah yang telah bangun dari rasa hina dan sedih berkata, “ Ya, wahai Rasulullah”. Rasul berkata, “Aku melakukannya”.(HR. Bukhari).
Kemudian tersebar berita di antara kaum muslimin bahwa rasulullah SAW telah menikahi Juwairiyyah binti Al-Harits bin Dhirar pemimpin Bani Al-Musthaliq dan panglima mereka dalam perang ini. Ini berarti seluruh tawanan setelah pernikahan ini menjadi keluarga Rasulullah saw yang di dasarkan atas pernikahan.
Karena kesetiaan terhadap Rasul, kaum muslimin rela melepaskan tawanan yang mereka punyai dari bani Al-Musthaliq. Mereka mengatakan, “Mushaharah (kekerabatan yang didasarkan atas ikatan pernikahan) Rasulullah, maka kita tidak menjadikan mereka sebagai tawanan”.
Meskipun Rasulullah menikahi putri pemimpin kaumnya yang datang dalam keadaan hina dan tunduk setelah sebelumnya mulia, Beliau menyayanginya dan memberi kesempatan kepadanya untuk menyatakan Islam. Dengan demikian ia menjadi salah satu Ummahatul Mukminin.
Mereka mengatakan, “Mereka melihatnya”. Namun, perlu diketahui bahwa Rasulullah melihatnya bukanlah suatu aib tapi Beliau melihatnya dalam keadaan hina sehingga menggerakkan hatinya untuk mengasihinya. Terhadap orang sepertinya Beliau bersabda, “sayangilah orang mulia suatu kaum yang menjadi hina”. Beliau menyayanginya dan memberinya kesempatan. Lalu dia memilih yang menjaganya dari kehinaan tawanan.
Walaupun demikian, memandang menurut hukum syara’ adalah diperbolehkan ketika akan  melakukan pernikahan seperti dalam keadaan ini. Beliau telah memerintahkan salah satu sahabatnya saat ingin menikah, “lihatlah dia karena itu lebih membuat kasih sayang di antara kalian”. ( HR. Bukhari).
Juwairiyyah meninggal dunia di zaman Daulah Umayah dan dishalati oleh Abdul Malik bin Marwan saatia berumur 70 tahun.

  1. Istri Ketujuh : Shafiyah Binti Huyai Aqila Bani Nadhir
Dia adalah salah satu tawanan setelah kekalahan bani Nadhir di hadapan kaum muslimin dalam perang yang dinamakan dengan nama mereka ini. Dia ketik itu menjadi bagian Nabi, maka beliau memerdekakannya dan menikahinya. Ini adalah sikap kemanusiaan yang mana sikap ini bagi Rasul merupakan sikap yang lebih beliau punyai daripada manusia-manusia yang lain.
Sikap ini bukanlah karena takjub dengan kecantikan Shafiyah. Akan tetapi, sikap kemanusiaan agung yang diungkapkan oleh prilaku memaafkan saat berkuasa dan mengasihi orang yang dihimpit kekalahan dalam perang dalam keadaan hina dan lemah. Lebih-lebih mereka telah masuk islam dan baik keislamannya.
Beliau telah melakukannya terhadap Shafiyah binti Huyai binti Al-Harits, wanita terhormat bani Nadhir (Yahudi) yang kalah di hadapan muslimin dalam perang bani Quraidzah setelah perang Ahzab.

  1. Istri Kedelapan : Ummuhabibah Binti Abu Sufyan ( Pertolongan Nabi Terhadap Perempuan Muslim Dalam Cobaan)
Dia adalah Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan pembesar kaum musyrikin Mekkah dan orang yang paling memusuhi Muhammad saw.
Dia sebelumnya istri Ubaidillah Bin Jahsyi. Keduanya melakukan hijrah pertama ke Habsyah. Seperti sudah diketahui bahwa Habsyah pada zaman An-Najasyi adalah tempat hijrah yang aman bagi kaum muslimin yang lari menyelamatkan agamanya agar selamat dari kekejaman kaum musyrikin dan permusuhan mereka. Dalam kekuasaan An-Najasyi mereka mendapatkan penjagaan dan perhatian karena ia mempunyai rasa iman yang menjadikannya menyambut kedatangan Nabi baru yang diberitahukan dalam kitab-kitab mereka melalui lisan Isa bin Maryam yang termaktub dalam firmannya :

Dan (ingatlah) katika Isa putra Maryam berkata :’ hai Bani Israil, sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)’”. (Qs. Ash-Shaff : 6).
Akan tetapi, Ummu Habibah binti Abi Sufyan adalah satu-satunya yang mendapatkan ujian keras diantara para sahabat yang berhijrah ke Habsyah. Demikian itu karena suaminya Ubaidullah bin Jahsy menyatakan dirinya murtad atau keluar dari Islam dan sebagai gantinya masuk ke dalam Agama Nasrani. Alangkah sulitnya kondisi perempuan dalam ujian yang berlipat; ujian suaminya murtad dan berkhianat dan ujian sebelumnya berupa ayahnya yang telah berpisah darinya yang marah kepadanya di Mekkah sejak ia masuk dalam Agama Allah (Islam).
Di atas ujian ini adalah ujian keterasingan karena tidak ada keluarga di luar tanah airnya. Juga ujian dirinya hamil seorang perempuan yang ditunggu-tunggunya dan menamakannya setelah lahir Habibah. Sungguh semua ini bagi wanita muslimah adalah ujian yang amat berat dari segala segi. Ayahnya marah besar kepadanya dan suaminya berkhianat!
Akan tetapi, Allah dan Muhammad memberikan untuknya kelembutan kasih sayang dan kedermawanan sesuatu yang menenangkan mata dan meringankan perkara. Putri Abu Sufyan ini mendapatkan panggilan baru. Sebelumnya dia dipanggil Ummu Habibah dan kini menjadi dipanggil Ummu Mukminin dan istri pemimpin para Rosul.
Di sini kebenaran saya katakan bahwa An-Najasyi termasuk orang Nasrani yang tulus. Dia memuliakan kedatangan kaum Muslimin yang berhijrah di negerinya secara umum dan Ummul mukminin binti Abi Sufyan secara khusus. Dia melaksanakan khitbah Rosul kepada perempuan ini melalui utusannya.
Khitbah Rosul kepada Ummu Habibah binti Abi Sufyan adalah penyelamatan dan pertolongan terbaik terhadap wanita muslim yang merasakan keterasingan ini. Khitbah ini menggantikannya dari suami yang khianat dengan penjagaan pemimpin manusia dan menggantikannyadari kemarahan sang ayah Abu Sufyan dengan penjagaan suami yang santun dan penuh kasih sayang.
Khitbah ini dalam timbangan politik merupakan tamparan keras terhadap pemimpin kafir di Mekkah Abu Sufyan bin Harb yang komentarnya atas pernikahan Muhammad dengan putrinya adalah, “ Sesungguhnya lelaki ini tidak akan terpotong hidungnya”. Komentar ini adalah kiasan dari pengakuan bahwa Muhammad tidak akan dikalahkan oleh penduduk Mekkah yang mana dia sendiri adalah pemimpin mereka. Karena beliau dari hari ke Hari terus menuai kemenangan. Pengakuan Abu Sufyan terhadap kehebatan dan kekuatan Muhammad ini seolah ungkapan penyelidikan secara mendalam atas penutup gaib atau dalam bahasa sekarang ramalan masa depan yang dekat dan kesempurnaan kemenangan.
Pada akhirnya Abu Sufyan menerima dakwah Rosul dan bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah. Salah seorang sahabat maju kepada Rosul SAW dan berkata kepadanya, “ sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yangmenyukai kebangaan, maka tidaklah engkau jadikan untuknya sesuatu yang mengurai ikatannya dan menenangkan kedengkian dan kemarahannya?” Rosulullah SAW dalam rangka proklamasi peradaban besar yang bersejarah kepada penduduk Mekkah saat mereka menyerah dan tunduk padanya mengatakan, “ Siapa yang memasuki rumahnya, maka dia aman. Dan siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka dia aman.” (HR Bukhari)
Islam menang, bendera tauhid berkibar tinggi, dan manusia masuk Agama Allah dengan berbondong-bondong. Dalam situasi kemenangan yang besar ini, Ummu Habibah adalah tuan yang diliputi kebahagiaan besar dengan kemenangan suami dan keselamatan sang ayah dan keluarga dari keburukan yang hampir meliputi mereka.
Inilah Ummul Mukminin Ummu Habibah binti Abu Sufyan yang telah mendapatkan pertolongan Nabi dari pengkhianatan suami dan cobaan terasing. Pertolongan Nabi ini meletakkannya dalam tempat yang paling mulia di Rumah kenabian.

  1. Istri Yang Kesembilan : Maimunah Binti Al-Harits Al-Hilaliyah; Janda Yang Menjadi Bahagia Dengan Mempunyai Suami Lagi
   
Dia adalah akhir Ummahatul Mukminin. Dia ditinggal suaminya Abu Ruhm bin Abdil Uzza al-Amiri. Kewaliannya dipegang oleh suami saudaranya alAbbas yang menikahkannya dengan Rosulullah SAW. Rosulullah mulai menggaulinya di Saraf dekat Tan’im yang juga dekat dengan Mekkah.
Dikatakan tatkala orang yang mengkhitbahkannya datang membawa kabar gembira, dia meloncat dari atas untanya dan berkata, “ unta dan apa yang ada di atasnya milik Rosulullah SAW.” Dikatakan pula bahwa dialah yang mengkhitbahkan dirinya untuk Nabi dan mengenainya turun ayat Al-Qur’an :

Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. ( QS. Al-Ahzab : 50 )
Dialah akhir Ummahatul Mukminin dan akhir istri Nabi SAW.

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Poligami bukan merupakan hal yang diharamkan dalam islam, namun sebagai salah satu sarana untuk meminimalisir terjadinya perbuatan zina dikalangan umat manusia di muka bumi. Namun demikian, bukan berarti islam membolehkan sebebas-bebasnya kepada umat islam untuk beerpoligami. Akan tetapi terdapat batasan-batasan dan aturan yang harus dipenuhi terlebih dahulu seperti keadilan dan rasa kasih sayang. Bukan hanya sekedar untuk melampiaskan hawa nafsu seenak-enaknya.
Sebagaimana telah dicontohkan dalam akhlak kepribadian Rasulullah dalam berpoligami. Yaitu tidak mementingkan hawa nafsu yang menggebu-gebu namun untuk menyalurkan rasa kasih sayang dan saling tolong menolong sesama umat islam. Dan pula sebagi saran untuk menyiarkan dakwah islam yang sangat mementingkan perdamaiana daripada peperangan.

B.        Saran
Poligami bukan sesuatu yang menjijikkan atau sesuatu kehinaan, namun salah satu sarana untuk menghilangkan tindak perzinaan. Oleh karena itu, kita sebagi umat islam tidak selayaknya mengecam orang-orang yamng berpoligami selama itu sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam.









Tidak ada komentar: