Senin, 04 April 2011

IJTIHAD DAN ITTIBA’ DALAM PENGEMBANGAN MAZHAB


A.      IJTIHAD
1.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad (dalam bahasa arab berasal dari kata Jahada = berusaha dengan sungguh-sungguh) dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an dengan syarat-syarat  tertentu. Adapun menurut para ahli usul fikih, antara lain Imam asy-Syaukani dan Imam az-Zarkasy, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak (hukum Islam) yang bersifat operasional de­ngan istinbat (mengambil kesimpulan hukum). Menurut  Imam al-Amidi dalam bukunya al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Penyempurnaan dalam Dasar-Dasar Hukum), ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari syarak yang bersifat  zanni (dugaan) sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.
2.    Perkembangan Ijtihad
a.    Ijtihad Pada Masa Rasulullah SAW
Ijtihad dalam sejarah dan perkembangannya, telah ada sejak zaman Ra­sulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri adalah mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (Al-Qur'an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah SAW itu benar, maka turun wahyu membenarkannya, dan jika ijtihad Rasulullah SAW salah, turun wahyu untuk meluruskan kesalahan itu.
Contoh ijtihad Rasulullah SAW yang mendapat pembenaran wahyu adalah ijtihadnya tentang pembebasan tawanan Perang Badr. Ketika itu umat Islam memenangkan pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan. Rasulullah SAW berta­nya kepada sahabat-sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. Umar bin Khattab menjawab: "Tawanan perang itu hendaknya dibunuh," sedangkan Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan dengan syarat membayar fidyah (denda). Rasulullah SAW lalu mengambil keputusan bahwa tawanan perang itu dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini merupakan ijtihad Rasulullah SAW meskipun dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatnya. Lalu turunlah surah al-Anfal ayat 61-69 yang membenarkan ijtihad Rasulullah SAW. Adapun contoh ijtihad Rasululah SAW yang salah ialah keputusannya tentang pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu turun surah At-Taubah ayat 43-45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah SAW.
b.      Ijtihad Pada Masa Sahabat
Pada masa sahabat, ijtihad mulai banyak dipakai karena dengan wafatnya Rasulullah SAW, wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus dan memerlukan ketentuan hukum. Pada masa Abu Bakar, jika menghadapi sesuatu persoalan dan tidak menemukan nasnya di dalam Al-Qur'an dan hadis, ia mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-masalah itu. Demikian pula pada masa Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah yang tidak didapati nasnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW. Akan tetapi, di antara keempat sahabat besar itu, hanya Umar yang diketahui paling banyak memakai ij­tihad. Walaupun demikian, keempat sahabat itu sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat yang merupakan hasil ijtihad. Misalnya Abu Bakar, apabila berijtihad dengan pendapatnya, selalu berkata: "Ini adalah pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan jika salah, itu dari saya. Saya mohon ampun atas kesalahan itu." Umar pernah mengatakan: "Ini pendapat Umar. Jika pendapat itu benar, itu adalah dari Allah dan jika salah, itu pendapat Umar." Selain dari keempat sahabat itu, ada pula beberapa sahabat yang terkenal dengan ijtihadnya, seperti Ibnu Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, Mu'az bin Jabal, Ubay bin Ka'b, dan Zaid bin Sabit.
Adapun Karakteristik Ijtihad pada masa Sahabat adalah sebagai berikut:
1)        Dengan musyawarah diantara ahlul hal wal aqd, yaitu para Khalifah (penguasa) dan para fuqaha (ahli fiqih) sahabat besar.
2)        Patuh dan tidak menyelisihi keputusan Amir.
3)        Tidak berfatwa untuk sesuatu yang belum terjadi.
Atsar dari  Masruq yang bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang sesuatu hal, maka Ubay bin Ka’ab menjawab : “Apakah hal itu telah terjadi ?” Aku menjawab : “Belum”. Ia mengatakan : “Kita tangguhkan (tunggu) sampai hal itu terjadi. Apabila hal itu telah terjadi, kami akan berijtihad untuk kamu dengan pendapat kami”.
4)        Toleran
Ath-Thabari meriwayatkan atsar bahwa Umar bin Khattab bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang mempunyai kasus, lalu Umar bertanya padanya: “Apa yang engkau perbuat ?” Orang itu menjawab : “Aku dihukumi demikian, oleh Ali dan Zaid”. Umar berkata : “Kalau aku, tentu aku akan menghukumi demikian”. Lelaki itu berkata : “Apa yang menghalangimu, sedangkan urusan itu ada padamu ?” Umar menjawab : “Kalau aku mengembalikanmu kepada Kitabullah dan Sunnah, tentu aku lakukan. Tetapi aku mengembalikanmu pada ra’yu (ijtihad akal), sedangkan ra’yu itu musytarak (lebih dari satu pendapat) dan aku tidak tahu pendapat mana yang benar menurut Allah. Maka tidak kurang nilainya apa yang dikatakan oleh Ali dan Zaid”.
5)      Menjauhi pembahasan ayat-ayat Mutasyabih. Khalifah Umar bin Khatab pernah mencambuk orang yang suka membahas ayat-ayat mutasyabih.
c.    Ijtihad Pada Masa Tabi’in
Sesudah masa sahabat, ijtihad semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan munculnya mujtahid-mujtahid besar, seperti Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibnu Syihad az-Zuhri, AbdulIah bin Ab­bas, Alqamah bin Qais, Anas bin Malik, Umar bin Abdul Aziz, Abdullah bin Amr, dan Wahhab bin Munabbih.
Para tabi’in adalah murid-murid langsung dari para sahabat Nabi. Pada masa tabi’in mereka melakukan dua peranan penting, yaitu :
1)   Mengumpulkan riwayat hadits dan fatwa sahabat.
2)   Berijtihad untuk masalah-masalah yang belum diketahui pendapat dari sahabat.
Para tabi’in di tiap-tiap kota mengembangkan ijtihadnya berdasarkan pengajaran dan methode guru mereka masing-masing dari kalangan sahabat Nabi. Misalnya :
1)   Mufti dan Fuqaha di Madinah : Said bin Al Musayyab, Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, Abu Bakar bin Abdurrahman, Sulaiman bin Yasar, Ubaidillah bin Abdullah.
2)   Mufti dan Fuqaha di Mekkah : Atha’ bin Abi Rabah, Thawus bin Kisan, Mujahid bin Jabar, Ubaid bin Umar, Amru bin Dinar, Ikrimah maula Ibnu Abbas.
3)   Mufti dan Fuqaha di Basrah : Amru bin Salamah, Abu Maryam al-Hanafy, Ka’ab bin Sud, Hasan Al Basri, Muhammad bin Sirin, Muslim bin Yasar.
4)   Mufti dan Fuqaha di Kufah : Alqamah bin Qais An-Nakhaiy, Masruq bin Al Ajda; Al Hamdany, Syuraih al Qadhy, Abdullah bin Utbah bin Mas’ud al-Qadly, Rabi’ bin Khutsam.
5)   Mufti dan Fuqaha di Mesir : Yazid bin Abi Habib, Bakir bin Abdillah, Amru bin Al-Harits.
6)   Mufti dan Fuqaha di Yaman : Mutharrif bin Mazin al-Qadly, Abdul Raziq bin Hamman, Hisyam bin Yusuf, Muhammad bin Tsur, Samak bin Al-Fadhl.
7)   Mufti dan Fuqaha di Baghdad : Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam dan Abu Tsur Ibrahim bin Khalid al Kalby.
8)   Mufti dan Fuqaha di Andalusia : Yahya bin Yahya, Abdul Malik bin Habib, Baqi bin Makhlad, Qasim bin Muhammad, dan Maslamah bin Abdul Aziz Al Qadly.

Selain para Tabi’in tersebut, juga dikenal Fuqaha Tujuh (Fuqaha al-sab’ah) di kalangan Tabi’in. Mereka adalah para tabi’in yang dikenal sebagai imam ahli Fiqih (Fuqaha), yaitu :
1)        Said bin Al-Musayyab (15 – 93 H), menantu sahabat Nabi Abu Hurairah. Ahli hadits, paling mengetahui keputusan hukum Abu Bakar dan Umar, guru Ibnu Syihab Az Zuhry.
2)        ‘Urwah bin Zubair (wafar 94 H), keponakan Aisyah Ummul Mukminin.
3)        Abu Bakar bin ‘Ubaid bin Al Harits bin Hisyam Al Makzumi (wafat 94H).
4)        Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq (wafat 94 H).
5)        ‘Ubaidillah bin Utbah bin Abdullah bin Mas’ud (wafat 99 H), guru Umar bin Abdul Azis.
6)        Sulaiman bin Yasar (34-100 H), meriwayatkan hadits dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah.
7)        Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ahli fiqih dan menguasai ilmu faraidh (warisan). 
d.      Ijtihad Pada Masa Tabi’inat Tabi’in
Ijtihad mengalami masa perkembangan yang paling pesat pada abad kedua sampai dengan abad keempat Hijriah. Masa itu dikenal dengan periode pembukuan sunah serta fikih dan munculnya mujtahid-mujtahid terkemuka yang kemudian dikenal sebagai imam-imam mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali).

1)   Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Nama lengkapnya ialah Nu’man bin Tsabit bin Zautha. Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man. Imam Abu Hanifah adalah pemikir dibidang fiqh yang kemudian hasil-hasil pemikirannya disebut dengan Mazhab Hanafi. Oleh karena itu ia disebut sebagai pendiri Mazhab Hanafi. Ia dikenal sebagai imam Ahlurra'yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya.
Imam Hanafi atau Imam Abu Hanifah dikenal banyak menggunakan ra'yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman Ijtihad dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur'an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma'i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Tidak ditemukan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah menulis sebuah buku fiqh. Akan tetapi pendapatnya masih bisa dilacak secara utuh, sebab muridnya berupaya untuk menyebarluaskan prinsipnya, baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pendapat Abu Hanifah telah dibukukan oleh muridnya, antara lain Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dengan judul Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir. Buku Zahir ar-Riwayah ini terdiri atas 6 (enam) bagian, yaitu:
·       Bagian pertama diberi nama al-Mabsut;
·       Bagian kedua al-Jami' al-Kabir;
·       Bagian ketiga al-Jami' as-Sagir;
·       Bagian keempat as-Siyar al-Kabir;
·       Bagian kelima as-Siyar as-Sagir; dan
·       Bagian keenam az-Ziyadah.
Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi (w. 344 H.). Kemudian pada abad ke-5 H. muncul Imam as-Sarakhsi yang mensyarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Disamping itu, Mazhab Hanafi juga dilestarikan oleh murid Imam Abu Hanifah lainnya, yaitu Imam Abu Yusuf yang dikenal juga sebagai peletak dasar usul fiqh Mazhab Hanafi. Ia antara lain menuliskannya dalam kitabnya al-Kharaj, Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi Laila, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dijumpai lagi saat ini.
Ajaran Imam Abu Hanifah ini juga dilestarikan oleh Zufar bin Hudail bin Qais al-Kufi (110-158 H.) dan Ibnu al-Lulu (w. 204 H). Zufar bin Hudail semula termasuk salah seorang ulama Ahlulhadits. Berkat ajaran yang ditimbanya dari Imam Abu Hanifah langsung, ia kemudian terkenal sebagai salah seorang tokoh fiqh Mazhab Hanafi yang banyak sekali menggunakan qiyas. Sedangkan Ibnu al-Lulu juga salah seorang ulama Mazhab Hanafi yang secara langsung belajar kepada Imam Abu Hanifah, kemudian ke pada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani.
2)      Imam Maliki (Malik Ibn Anas)
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Imam Malik dikenal sebagai pelopor tebentuknya Mazhab Maliki. Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masasesudah beliau meninggal dunia. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqh terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqh dan usul fiqh Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa' yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma'mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadits, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqh dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqh Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadits dan fiqh belakangan sebagai kitab fiqh. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Dasar Ijtihad Imam Malik adalah Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', Tradisi penduduk Madinah (statusnya sama dengan sunnah menurut mereka), Qiyas, Fatwa Sahabat, al-Maslahah al-Mursalah, 'Urf; Istihsan, Istishab, Sadd az-Zari'ah, dan Syar'u Man Qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqh Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqh Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur' an, sunnah Nabi SAW, ijma', dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-Maslahah al-Mursalah, Sadd az-Zari'ah, Istihsan, 'Urf; dan Istishab. Menurut para ahli usul fiqh, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Para murid Imam Malik yang besar andilnya dalam menyebarluaskan Mazhab Maliki diantaranya adalah Abu Abdillah Abdurrahman bin Kasim (w. 191 H.) yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim (w. 197 H.) yang sezaman dengan Imam Malik, dan Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy (w. 204 H.) serta Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam al-Misri (w. 214 H.) dari Mesir. Pengembang mazhab ini pada generasi berikutnya antara lain Muhammad bin Abdillah bin Abdul Hakam (w. 268 H.) dan Muhammad bin Ibrahim al-Iskandari bin Ziyad yang lebih populer dengan nama Ibnu al-Mawwaz (w. 296 H.).
Disamping itu, ada pula murid-murid Imam Malik lainnya yang datang dari Tunis, Irak, Hedjzaz, dan Basra. Disamping itu Mazhab Maliki juga banyak dipelajari oleh mereka yang berasal dari Afrika dan Spanyol, sehingga mazhab ini juga berkembang di dua wilayah tersebut.
3)      Imam Syafi’I
Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Idris Asy Syafi’I, seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama. Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Imam Syafi'I pemikir serta pendiri Mazhab Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi'i sebagai ulama fiqh, usul fiqh, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra 'yi, Imam asy-Syafi 'i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlurra'yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi'i dapat dilihat dalam kitab usul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini asy-Syafi'i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far'iyyah (yang bersifat cabang). Dalam berijtihad menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi'i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur'an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma' sahabat. Ijma' yang diterima Imam asy-Syafi'i sebagai landasan hukum hanya ijma' para sahabat, bukan ijma' seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma' seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma' tidak juga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi 'i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbat-kan hukum syara'
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi'i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab usul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi'i kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Tiga orang murid Imam asy-Syafi 'i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi'i adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 231 H./846 M.), ulama besar Mesir; Abi Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzani (w. 264 H./878 M.), yang diakui oleh Imam asy-Syafi 'i sebagai pendukung kuat mazhabnya; dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w. 270 H.), yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam asy-Syafi 'i tersebut.
4)      Imam Hanbali
Beliau adalah pendiri Mazhab Hanbali. Nama lengkapnya ialah Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrsh. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya. Ia terkenal sebagai ulama fiqh dan hadits terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqh Ahlurra'yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi'i.
Ketika pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum Mu’tazilah berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana. Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat. Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan Al-Qur’an.
Khalifah Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.  
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut:
(a)      An-Nusus (jamak dari nash), yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, dan Ijma';
(b)     Fatwa Sahabat;
(c)      Jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW;
(d)     Hadits mursal atau hadits daif yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma'; dan
(e)      Apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan qiyas. Penggunaan qiyas bagi Imam Ahmad bin Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadits Musnad Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari'ah, 'urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Metode istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada menggunakan Qiyas
Para pengembang Mazhab Hanbali generasi awal (sesudah Imam Ahmad bin Hanbal) diantaranya adalah al-Asram Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani al-Khurasani al-Bagdadi (w. 273 H.), Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Masruzi (w. 275 H.), Abu Ishaq Ibrahim al-Harbi (w. 285 H.), dan Abu al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husain al-Khiraqi al-Bagdadi (w. 324 H.). Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqh sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi Kerajaan Arab Saudi.
e.       Ijtihad Masa Pra-Imam Mazhab
1.      Masa Kelesuan
Setelah abad keempat Hijriah, perkembangan ijtihad mengalami kemunduran, bahkan muncul pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini disebabkan antara lain karena umat Islam merasa cukup dengan pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya. Umat Islam memandang bahwa semua masalah telah ditetapkan hukumnya oleh fukaha (ahli hukum Islam), sehingga mereka hanya boleh menjelaskan dan menafsirkan ajaran-ajaran yang telah disepakati oleh fukaha terdahulu. Di samping itu, tidak ada lagi muncul mujtahid-mujtahid yang memiliki kemampuan dan keunggulan seperti yang dimiliki oleh para mujtahid sebelumnya sehingga tidak ada lagi yang disebut mujtahid mutlak (muj­tahid mustaqilt). Yang ada hanya mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang mengikuti pendapat para imam mazhab sebelumnya) atau mujtahid murajjih (mujtahid yang menerangkan dan memperkuat pendapat imam-imam mazhab sebelumnya).
Pertengahan pada abad ke 4 sampai abad ke 7 H, periode ini ditandai dengan menurunnya semangat ijtihad dikalangan ulama fikih, bahkan mereka cukup puas dengan fikih yang telah disusun dalam berbagai mazhab. Ulama lebih banyak mencurahkan perhatian dalam mengomentari, memperluas atau meringkas masalah yang ada dalam kitab fikih mazhab masing-masing. Lebih jauh Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa periode munculnya anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Imam Muhammad Abu Zahrah menyatakan beberapa penyebab yang menjadikan tertutupnya pintu ijtihad pada periode ini, yaitu munculnya sikap ta’asub mazhab dikalangan ulama, pengikut dan murid-murid imam mazhab. Ulama ketika itu lebih baik mengikuti pendapat yang ada dalam mazhab dari pada mengikuti metode yang dikembangkan imam mazhabnya untuk melakukan ijtihad.
Sekalipun ada ulama yang melakukan ijtihad pada kala itu, hasil ijtihadnya hanya terbatas pada maazhab yang dianutnya. Di samping itu, perkembangan fikih serta metode ijtihad banyak yang berupaya menguatkan suatu pendapat dari ulama dan munculnya perdebatan antar mazhab diseluruh daerah. Hal inipun menyebabkan masing-masing mazhab menyadari kembali kekuatan dan kelamahan masing-masing. Akan tetapi, sebagai mana dikemukakan imam Muhammad Abu Zahrah, perdebatan ini kadang-kadang jauh dari sikap-sikap ilmiah.
Ilmu hukum Islam mulai berhenti berkembang diakhir pemerintahan Abbasiyah. Ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran para ahli sebelumnya yang dituangkan ke dalam buku atau kitab berbagai mazhab. Adapun yang dipermasalahkan tidak lagi soal-aoal yang mendasar atau pokok, tetapi soal-aoal kecil yang biasa disebut dengan istilah furu’ (cabang). Sejak itu mulai ada gejolak untuk mengikuti saja pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’/taqlid). Para ahli hukum pada masa ini tidak lagi mengambil hukum Islam dari sumber aslinya, tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada mazhabnya masing-masing.
Ciri umum pemikiran hukum pada periode ini ialah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW, tetapi pikirannya ditumpahkan pada pemahaman, perkataan, dan pikiran-pikiran hukum para imam-imamnya saja. Artinya masyarakat yang terus berkembang, sedangkan pemikiran akan hukum suatu masalah berhenti. Maka terjadilah kemunduran pemikiran dalam perkembangan hukum Islam.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dalam perkembangan hukum islam diantaranya :
a)    Kesatuan wilayah Islam yang luas, telah retak dengan munculnya beberapa Negara baku (berdaulat), baik di Eropa (Spanyol), Afrika Utara, kawasan Timur Tengah, dan Asia dengan membawa ketidakstabilan politik.
b)   Ketidak stabilan politik. Ini menyebabkan ketidak stabilan kebebasan berpikir. Orang tidak bebas mengutarakan pemikirannya karenan pada jaman sebelumnya telah terbentuk aliran-aliran pemikiran hukm yang disebut mazhab, dan ahli hukum tinggal memilih (ittiba’) atau mengikuti (taqlid) pada salah satu diantaranya. Sikap yang seperti ini meyebabkan “jiwa atau ruh ijtihad” yang menyala-nyala di zaman sebelummya menjadi padam dan para ahli hukum hanya mengikuti saja paham yang telah ada dalam mazhabnya.
c)    Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintah menyebabkan kemerosotan kewibawaan pengendalian perkembangan hukum. Dan juga munculnya orang-orang yang sebenarnya tidak layak untuk berijtihad, namun mengeluarkan berbagai fatwa yasng membingungkan masyarakat. Kesimpangsiuran pendapatnya sering kali bertentangan, menyebabkan pihak yang berkuasa memerintahkan para Qadi untuk mengikuti saja pemikiran yang telah ada, dengan maksud untuk menghentikan kesimpangsiuran tersebut.
d)   Timbul gejolak kelesuan pemikiran dimana-mana, karena itu para ahli tidak mampu lagi menghadapi perkembangan keadaan dengan mempergunakan pemikiran akal pikiran yang merdeka dan bertanggung jawab. Akhir zaman keemasan itu ditutup dengan sikap para pengikut mazhab yang bertaqlid, dengan begitu muncullah anggapan pintu ijtihad telah tertutup, sehingga ulama tidak lagi berijtihad, kecuali ijtihad dengan mengikatkan diri pada aliran fikih tertentu.

2.      Masa Kebangkitan
Pada abad ke-14 muncul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dan segar di dunia pemikiran agama dan hukum seperti, Ibnu Taimiyah (1263-1328), muridnya Ibn Qayyim Al-Jauziyah (1292-1356). Yang dalam pola pemikiran dilanjutkan pada abad ke 17 oleh Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787). Yang terkenal dengan gerakan Wahabi, mempunyai pengaruh pada gerakan Padri (Minangkabau).
Dilanjutkan kembali pada Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) terutama lapangan politik yang memasyhurkan ayat Qur’an 13 ayat 11: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”., untuk menggerakkan kembali umat Islam. Ia menilai karena penjajahan barat yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran. Perjuangannya dilanjutkan oleh Muhammad Rasyid Ridho (1835).
Adapun Ibnu Taimiyah membagi ruang lingkup agama Islam kedalam dua bidang besar yaitu ibadah dan muamalah. Pemikiran Ibnu Taimiyah dikembangkan lagi oleh Muhammad Abduh. Adapun perkembangan pemikiran Muhammad Abduh ada beberapa hal penekanan dalam pemikirannya. Diantaranya :
-       Membersihkan Islam dari pengaruh-pengaruh dan kebiasaan di luar Islam.
-       Mengadakan pembaharuan dalam sistem pendidikan terutama perguruan tinggi.
-       Merumuskan dan menyatakan kembali ajaran Islam menurut alam pemikiran modern.
-       Mempertahankan dan membela ajaran Islam dari pengaruh barat dan serangan agama lain.
-       Membebaskan negeri-negeri yang berpenduduk Islam dari belenggu penjajah.
Mohammad Abduh melihat permasalahan pada sektor kehidupan umat Islam yang meliputi kehidupan sosial kemiskinan dan kebodohan yang merupakan sumber kelemahan umat dan masyarakat Islam. Oleh karena itu, kemiskinan dan kebodohan harus diperangi melalui pendidikan dan juga kebodohan dalam memahami ajaran dan hukum Islam.
a)        Perkembangan Tasyri Di Beberapa Negara Muslim
Dalam rangka kembali kepada hukum islam yang murni, Al-Quran dan Sunnah terdapat beberapa negara yang mulai menerapkan sistem hukum Islam sebagai pegangan yang dipergunakan umat Islam yaitu; Pertama, di negara Libya yang mulai merancang guna menerapkan hukum Islam dalam kesehariannya. Kedua, di negara Turki pemerintah mengumpulkan ulama-ulama besar yang menugaskan mereka untuk menyusun undang-undang dalam bidang muamalah madaniyah, dan hukum-hukum itu tidak harus diambil dari mazhab-mazhab yang terkenal saja, dan undang-undang tersebut dimuat dalam suatu kitab yang disebut Ahkamul ‘Adliyah.
Ketiga, pada tahun 1920 M pemerintah Mesir mengambil langkah baru dengan mengeluarkan undang-undang yang didalamnya terdapat beberapa hukum dalam bidang hukum keluarga yang menyalahi mazhab Abu Hanifah, yang diambil dari mazhab-mazhab empat yang lain, selanjutnya pada tahun 1929 pemerintah Mesir melangkah lebih jauh lagi, yaitu mengeluarkan undang-undang dalam bidang hukum keluarga yang menyalahi mazhab Abu Hanifah dan mazhab empat yang lain. Pada tahun 1936 pemerintah Mesir membentuk suatu badan yang terdiri dari para ulama dan sarjana hukum untuk membuat satu undang-undang yang lengkap dalam masalah hukum keluarga, wakaf, mawaris, wasiat, dan lain-lainnya dengan diberi hak dengan melepaskan diri dari mazhab tertentu dan mengambil dari pendapat-pendapat fuqaha Islam yang lebih sesusai dengan perkembangan masyarakat. Tidak hanya pada negara Islam saja, hukum Islam semakin berkembang pada dunia barat yang telah resah dengan sistem hukum sebelumnya yang mereka anut yaitu hkum barat yang dirasa kurang bisa memberikan suatu hal kehidupan yang baik bagi mereka.

b)      Transformasi Fikih Melalui Perundang-Undangan.
Transformasi fikih merupakan suatu peralihan hukum Islam ke dalam bentuk undang-undang yang ditarapkan sebagai hukum suatu positif dalam perundang-undangan ketatanegaraan. Contohnya, pemerintah Libya mengkodifikasikan seluruh hukum Islam kepada semua bidang kehidupan. Kemudian di Indonesia sendiri dengan disusun dan dikeluarkannya KHI yang mengatur tentang perkawainan, kewarisan, dan wakaf. Dalam penyusunan KHI sendiri tidak lepas dari hukum Islam itu sendiri.
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, muncul ulama-ulama seperti Ibnu Taimiyah yang menyerukan agar umat Islam membuka kembali pintu ijtihad. Pendapat Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan dari ulama dan tokoh-tokoh pemikir serta tokoh-tokoh pembaharu sesudahnya, se­perti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad bin Ab­dul Wahhab,  Muhammad Abduh, dan Muham­mad Rasyid Rida.
Pada masa kini, para ulama semakin dituntut untuk berusaha melakukan ijtihad. Hal ini dise­babkan karena semakin banyaknya persoalan yang dihadapi umat akibat pengaruh perubahan yang begitu pesat.

B.       ITTIBA’  DAN TAQLID DALAM MAZHAB
1.    Pengertian Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya. Ittiba’ (mengikuti) kebenaran adalah kewajiban setiap manusia sebagaimana Alloh wajibkan setiap manusia agar selalu ittiba’ kepada wahyu yang diturunkan oleh Alloh kepada Rasul-Nya. Allah jadikan wahyu tersebut sebagai petunjuk bagi manusia di dalam kehidupannya.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Ittiba’ dan Taqlid. Yakni, Ittiba’ mengikuti pendapat (yang merupakan hasil ijtihad) disertai pengetahuan tentang alas an-alasan, dalil-dalil, dan hujjahnya. Sedangkan Taqlid adalaha sebaliknya, mengikuti pendapat secara buta yaitu tanpa disertai kepahaman tentang apa yang diikuti tersebut. Oleh karena itu, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam Ghazali dalam Al-Mushthafa bahwa “Ittiba’ itu wajib, sedangakan Taqlid itu dilarang”.
Al-Imam lbnu Abdil Barr berkata, “Taqlid menurut para ulama bukan ittiba, karena ittiba’ adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang yang nampak bagimu keshahihan perkataannya, dan taqlid adalah jika engkau mengikuti perkataan seseorang dalam keadaan engkau tidak tahu segi dan makna perkataannya.”
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad berkata, “Taqlid maknanya dalam syari‘at adalah merujuk kepada suatu perkataan yang tidak ada argumennya, ini adalah dilarang dalam syari’at, adapun ittiba maka adalah yang kokoh argumennya.”
Beliau juga berkata, “Setiap orang yang engkau ikuti perkataannya tanpa ada dalil yang mewajibkanmu untuk mengikutinya maka engkau telah taqlid kepadanya, dan taqlid dalam agama tidak shahih. Setiap orang yang dalil mewajibkanmu untuk mengikuti perkataannya maka engkau ittiba’ kepadanya. Ittiba’ dalam agama dibolehkan dan taqlid dilarang.”
2.      Hukum Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ hukumnya adalah wajib bagi setiap umat islam yang tidak mampu untuk melakukan Ijtihad. Hal ini dikarenakan pengetahuan yang dikaruniakan kepada setiap manusia berbeda satu sama lain. Bagi yang tidak mampu untuk melakukan ijtihad, diharuskan Ittiba’ kepada para mujtahid yang tentunya disertai dengan pemantapan akan pengetahuan tentang dalil-dalil serta hujjah mujtahid tersebut.
Sedangkan Taqlid buta, yaitu mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui dan memahami dalil-dalilnya adalah haram. Dalil- dalil dari hukum Itiiba’ dan Taqlid akan disebutkan berikut ini :
a.    Dalil tentang wajibnya Ittiba’
Seorang muslim wajib ittiba’ kepada Rasulullah SAW dengan menempuh jalan yang beliau tempuh dan melakukan apa yang beliau lakukan. Begitu banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan setiap muslim agar selalu ittiba’ kepada Rasulullah SAW di antaranya firman Allah :
“Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, makasesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir'.” (QS. Ali lmran [3] : 32)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat [49] : 1)
“Hai orang-arang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah Ia kepada Allah (AlQur ‘an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa [4] : 59)
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintal Alloh, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. “Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali lmran [3] : 31)
Rasulullah SAW bersabda.
“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya seandainya Musa hidup maka tidak boleh baginya kecuali mengikutiku.” [Dikeluarkan oleh Abdur Razzaq dalamMushannafnya 6/Fl 3, lbnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 9/47, Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayan Ilmi 2/805, Syaikh Al-Albani berkata dalam Irwa’ 6/34, “Hasan”]
Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata, “Jika Musa Kalimullah tidak boleh ittiba’ kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana dengan yang lainnya? Hadits ini merupakan dalil yang qath‘i atas wajibnya mengesakan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam hal ittiba’, dan ini merupakan konsekuensi syahadat ‘anna Muhammadan rasulullah”, karena itulah Alloh sebutkan dalam ayat di atas (QS. Ali lmran [3] : 31) bahwa ittiba’ kepada Rasulullah bukan kepada yang lainnya adalah dalil kecintaan Alloh kepadanya.”
Demikian juga Allah memerintahkan setiap muslim agar ittiba’ kepada sabilil mukminin yaitu jalan para sahabat Rasulullah dan mengancam dengan hukuman yang berat kepada siapa saja yang menyeleweng darinya:
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan Ia ke dalam jahanam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’ [4] : 115)
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Aku tidak pernah mendebat seorang pun kecuali aku katakan: Ya Alloh jalankan kebenaran pada hati dan lisannya, jika kebenaran bersamaku maka dia ittiba’ kepadaku dan jika kebenaran bersamanya maka aku ittiba’ padanya.”
b.      Dalil tentang haramnya Taqlid
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah.” (QS. At-Taubah [9] : 31)
Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai Rabb-Rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka.” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal. 20]
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.    
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: 'Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.' (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?' Mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya'.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 23-24)
Al-Imam lbnu Abdil Barr r.a. berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul.” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/977]
Alloh menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun.” (QS. Al-Anfal [8] : 22)
“Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” (QS. Al-Baqarah [2] : 166)
3.      Masa Ittiba’ dan taqlid
Masa Ittiba’ dan Taqlid terbagi menjdi empat periode, yaitu:
a.    Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
b.    Periode kedua dari abad ke-IV H – abad ke-X H.
c.    Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
d.   Periode keempat dari masa Muhammad Abduh – sekarang.
Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad diantaranya: Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H), Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H), Ibnu Rif’ah (645 – 710 H),  Ibnu Taimiyah (661-728 H), Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H),  An Nawawi, Al Bulqini (724 – 805 H), Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H), Al Asnawi (714-784 H), Al Jalalul Mahalli (791-864 H), Al Jalalus Suyuthi (846 –911 H), Ash Shan’ani (abad XII H) pengarang Subulussalam, Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar, Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar, dan Rasyid Ridha.

Tidak ada komentar: